Sabtu, 25 September 2010

firsafat keseniaan atjeh

Filsafat Kesenian Aceh

oleh Putroe Phang Unsyiah pada 24 Juli 2010 jam 18:33
Salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola (mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja, atau dalam dalam perayaan acara tertentu.
Mengutip pendapat kesuma yang dikutip Ismuha dalam buku Bunga Rampai Budaya Nusantara, maka Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara lain ; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak serupa yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang relatif panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas, pada masa awal pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi)
Kesenian Aceh dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater dan seni suara. Selain itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi oleh latar belakng adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapa’I uroh maupun rapa’I geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines dan ale tunjang.

Kekuatan Gerak
Dalam konteks yang lain, seni Aceh juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bagian dari dimensi-dimensi agama. Ini dimungkinkan karena pesan-pesan dakwah juga dapat disampaikan lewat seni. Dalam penelusuran lebih lanjut kita dapati bahwa ternyata banyak hal-hal yang menarik kita jumpai dalam kesenian Aceh. Pertama kesenian Aceh dilakonkan oleh banyak orang. Kecuali menyanyi yang dilakukan sendiri (solo), rata-rata kesenian Aceh dilakukan oleh banyak orang (group). Jika kita tilik lebih dalam, konteks ini memberikan makna bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang menjunjung tinggi bentuk kerjasama tim. Tarian seudati, saman, laweut, rapai geleng, likok pulo dan lain-lain adalah bentuk-bentuk kesenian Aceh yang dilakukan secara berkelompok.
Dalam konteks seni, ini membutuhkan kerjasama tim baik dalam gerak, sikap, syair dan aspek-aspek seni lainnya. Bisa kita bayangkan seandainya salah seorang atau beberapa orang yang terlibat dalam kegiatan seni melakukan kesalahan, maka nilai seni yang akan ditonjolkan akan berkurang maknanya. Dalam konteks ini, kesalahan seseorang pelaku seni adalah kesalahan kelompok dimaksud. Jika hal ini terjadi, maka seni menjadi sesuatu yang tidak menarik lagi baik untuk pelaku seni atau penggemar seni itu sendiri.
Jika makna ini kita masukkan dalam konteks filsafat, makan makna yang dapat kita ambil adalah bahwa masyarakat Aceh sejak dulu adalah masyarakat bersatu. Leluhur Bangsa Aceh sejak dahulu adalah kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. Dalam pergaulan dan tata kemasyarakatan akan terlihat sikap dan nilai-nilai persatuan. Kesatuan gerakan dan suara yang terlihat dalam penampilan seni Aceh memberikan makna bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi niali-nilai ukhuwah dan persaudaraan.
Kedua, dalam seni kelompok seni Aceh selalu dipimpin oleh seorang syekh. Dalam literature seni, Syekh adalah orang yang memimpin atau yang mengarahkan gerakan-gerakan atau syair-syair . Dalam seudati, laweut, rapai, rukoen, likok pilo, maka syehk dikenal sebagai orang yang mengarahkan gerakan tarian dan lirik. Dalam hal ini, maka kepiawaian seorang syekh akan sangat menentukan kesuksesan tim seni secara keseluruhan. Amatan penulis, semua anggota tim seni selalu tunduk dan mengikuti gerakan dan syair yang dipimpin syekh. Tidak pernah kita dapati, ada anggota tim seni yang bergerak atau mengucapkan syair yang berbeda dengan yang dilakukan oleh syekh. Jika hal ini terjadi, maka seni menjadi sesuatu yang tidak selaras dan seirama. Dan hal ini sungguh sangat mengganggu kekompakan dan penampilan seni itu sendiri.
Dalam konteks sosial, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh adalah tipikal masyarakat yang taat kepada pemimpin. Semua yang dilakukan atau yang diucapkan oleh seorang pemimpin kepada masyarakatnya, maka akan diikuti oleh rakyat atau komunitas yang dipimpinya. Ini memberikan makna bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang taat kepada pemimpin. Dalam literature sejarah Aceh dahulu, yang diangkat menjadi pemimpin adalah ulama atau umara. Maka masyarakat Aceh adalah masyarakat yang taat kepada ulama/umara . Semua yang diperintahkan atau dicontohkan oleh kedua elemen itu, akan diikuti oleh masyarakat Aceh. Ini memberi makna bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang menjunjung dan menghormati ulama atau umara yang menjadi pemimpin mereka.
Ketiga, kebanyakan gerakan dalam kesenian Aceh adalah gerakan heroik. Dalam beberapa kesenian Aceh kita dapati bahwa gerakan yang dilakukan dimulai dengan gerakan yang lembut dan lambat. Gerakan ini sedikit demi sedikit akan terus dipercepat disesuaikan dengan waktu yang ada hingga akhirnya cepat dan akan berhenti. Jika diamati dalam setiap gerakannya, maka kesenian Aceh sarat dengan makna-makna yang heroik. Sikap kepahlawanan ini muncul seiring dengan timbulnya semangat perjuangan rakyat Aceh dulu disaat berperang melawan penjajah (baca : kaphe).
Dalam konteks keacehan, semangat jihat tersebut dimiliki oleh semua rakyat Aceh. Artinya, keinginanan masyarakat Aceh dalam medan peperangan guna mengusir penjajah ditabalkan dalam gerakan dan semangat seninya. Gerakan yang cepat tersebut dipadu dengan lirik-lirik syair yang akan menambah semangat jihat para penarinya. Semangat penari ini dimaknakan laksana panglima perang yang gagah berani dan siap terjun ke medan peperangan. Munculnya hikayat perang sabi dalam literature seni rakyat Aceh menunjukkan bahwa sejak dahulu semangat peperangan sudah ada dalam jiwa dan raga rakyat Aceh untuk mempertahankan tanah leluhurnya dari penjajah kaphe Belanda.
Dalam tinjauan filsafat, maka orang Aceh adalah mereka yang memiliki darah pejuang. Semangat juang ini dapat kita maknai dari tingginya hasrat dan keinginan rakyat Aceh untuk mempertahankan apa yang dimilikinya dari rongrongan dan penindasan orang lain. Siapa saja yang berkeinginan untuk merampas harta benda termasuk harkat dan martabat orang Aceh akan dilawan dengan segenap kekuatan yang dimiliki. Tetesan darah bahkan pengorbanan nyawa sekalipun tidak akan menyurutkan semangat orang Aceh. Dan ini telah terbukti lewat perjalanan literature sejarah.
Keempat, seni Aceh adalah sarana hiburan untuk menghibur diri.Sejarah Aceh mencatat bahwa sejak zaman dahulu kesenian Aceh dipergunakan untuk menghibur diri dalam segala situasi. Dalam literature kerajaan Aceh, sering dilaksanakan acara-acara di lingkungan istana raja dengan menampilkan berbagai atraksi kesenian baik yang dilakukan secara perseorangan atau kelompok. Kegiatan serupa tidak hanya berlaku dalam lingkup istana, akan tetapi juga dilaksanakan dalam berbagai strata lingkungan masyarakat.
Sebagai sarana hiburan, maka kesenian Aceh dapat dimaknai dalam dua dimensi. Pertama, menjadi hiburan bagi pelaku seni itu sendiri. Ini dimaknai dengan begitu riang gembiranya para penari dalam mengekpresikan gerakan seninya. Seorang pelaku seni selalu menampakkan suasana hati sesuai dengan atraksi seni yang dilakonkannya. Kedua, kesenian Aceh juga menjadi sarana hiburan bagi orang lain. Ini dimaknai dengan kegiatan perayaan seni yang sering dilaksanakan untuk khalayak. Dalam konteks tertentu, orang akan mengeluarkan biaya untuk dapat menikmati nilai-nilai seni yang digemarinya. Ini membuktikan betapa tingginya animo masyarakat Aceh untuk menikmati nilai-nilai seni yang diwarisi leluhurnya. Kelima seni adalah prestise. Sejak dahulu, orang yang mampu melakukan atraksi seni memiliki nilai kelebihan tersendiri. Bahkan sejarah mencatat bahwa perayaan seni dikalangan istana raja tempo dulu sering diperlombakan. Mereka yang mampu menampilkan kreatifitas seni terbaik akan diberikan penghargaan dan tentu saja hadiah. Mereka yang menjadi pemenang diundang ke istana raja untuk mempertunjukkan atraksi seninya pada saat-saat tertentu. Hingga saat ini, hal ini masih saja berlaku. Dalam masyarakat Aceh kini, munculnya pengakuan tak tertulis dari khalayak terhadap pelaku seni menunjukkan tingginya minat rakyat Aceh terhadap penghargaan kepada tokoh-tokoh seni.
Sebagai ilustrasi sederhana, adalah tenarnya nama-nama tokoh-tokoh pegiat seni di Aceh. Nama-nama seperti Tgk Adnan PMTOH, Syeh Rih Krueng Raya, Syeh Lah Geunta, Mareuhoi, Cek Bi terasa begitu dekat dengan penikmat seni di Aceh. Wajar saja karena mereka adalah para maestroe seni yang telah memajukan dan mempromosikan nilai-nilai kesenian Aceh mulai dari event daerah, nasional maupun internasional.
Dalam konteks kekinian, kegiatan ini malah lebih ditingkatkan lagi. Munculnya kegiatan-kegiatan festival seni dalam berbagai event menunjukkan tingginya nilai-nilai kompetetitif yang harus diupayakan oleh pelaku seni itu sendiri. Sebab jika tidak mampu bersaing, maka seseorang atau sekelompok pelaku seni akan jauh dari khalayak yang mengagumi kesenian itu sendiri.
Dari sudut filsafat budaya, kompetitif adalah persaingan, dan prestise adalah gengsi. Diakui atau tidak, dua aspek ini merupakan budaya orang Aceh. Masyarakat Aceh adalah komunitas yang siap bersaing dengan siapa saja untuk menjadi orang atau kelompok terbaik. Untuk sampai ke taraf ini, orang akan melakukan apa saja, termasuk persaingan tidak sehat. Makanya dalam literature Aceh sering dijumpai tindakan upaya-upaya tidak sehat dalam memperebutkan sesuatu serta tingginya sifat prestise yang dimiliki ketika sesuatu yang diinginkan telah dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar