Sabtu, 25 September 2010

wawasan


Kesenian Aceh pada dasarnya mempunyai ciri yang amat nyata, ya itu Islam didalamnya. Hal ini disebabkan karena pengaruh Islam yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama dalam kehidupan masyarakat Aceh masa lampau.
Dalam masyarakat Aceh masa kini ajaran Islam itu tetap dipandang sebagai nilai yang esensial dan masih sangat besar pengaruhnya sekalipun disamping itu pengaruh dari budaya modern mulai besar pula. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran. Malah dalam beberapa nilai konflik nilai-nilai dalam masyarakat Aceh sekalipun  nilai-nilai Islam masih tetap dominan.
Mari kita lihat sekilas sejarah mengenai beberapa budaya dan seni Aceh diantara sekian banyak budaya dan seni kebanggaan masyarakat Aceh.
Seudati.
Seudati merupakan perpaduan antara seni tari, seni suara, seni sastra, karena selain dari menari, para pelaku juga sekaligus meyakinkan kisah-kisah yang tersusun secara bersajak dan dilagukan dengan berbagai lagu, pada permulaan sejarahnya, seudati itu berfungsi sebagai tari pahlawan yang dilaksanakan untuk melepaskan pasukan tentara yang akan berangkat ke medan juang dalam peperangan melawan musuh,- menyambut pasukan tentara yang pulang dari medan perang, lebih kalau pasukan itu pulang dengan membawa kemenangan, media dakwah, karena dalam kisah yang diucapkan bersajak itu, dapat diselipkan berbagai ajaran yang perlu didakwahkan.
Akan tetapi kemudian oleh karena kesenian tersebut sangat digemari oleh rakyat, maka diadakan juga pada waktu-waktu yang lain, bahkan dikampung-kampung. Akhirnya fungsi berubah menjadi hiburan rakyat dan dipertandingkan dengan pemungutan bayaran. Mula-mula tidak semalam suntuk, akan tetapi waktu pertandingan terjadi berbalas kisah, karena masing-masing tidak mau kalah, maka akhirnya sampai pagi hari, mataharilah yang memisahkan kedua belah pihak, akibatnya semua orang yang menikmati hiburan tersebut terpaksa tidur semalam suntuk, tidak sempat mencari rizki untuk belanja rumah tangga, disamping itu juga lama kelamaan timbul efek samping lainnya, yaitu terjadi perzinaan dan pencurian dikampung-kampung yang bersangkutan dan yang berdekatan, oleh karena itulah ulama Aceh membencinya, malah mengharamkannya, judi haramnya itu, bukan haram zaty, artinya bukan haram seudati atau keseniannya, melainkan haram karena akibat sampingan yang merusak masyarakat, kalau hal ini dapat dihindarkan tidak masalah.
Para pelaku seudati terdiri dari delapan orang penari ditambah satu atau anak seudati yang bagus suaranya, oleh karena para seudati terdiri dari delapan orang maka dinamakan saman berasal dari bahasa Arab yang berarti delapan, dan oleh karena dalam permainan itu diceritakan bermacam-macam terutama sewaktu pertandingan, maka dinamakan ratooh.
Pakaian para penari terdiri dari baju kaos lengan panjang celana panjang berwarna hitam atau putih yang agak genting pada bagian lutut dan kain sarung sutera berlipat dua dililit dipinggang, kemudian disisi plah sebilah rencong, lambang pahlawan Aceh dihulunya diikat denga kain kuning atau hijau, dikepalanya di ikat daster sutera yang dalam bahasa Aceh disebut “tangkulok sutera”
Oleh karena seudati sangat digemari oleh segenap masyarakat Aceh, maka dalam konferensi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang berlangsung di kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada tahun 1964 dibicarakan juga hukumnya, untuk keperluan itu maka dibentuklah sebuah tim penelaah yang terdiri dari tokoh-tokoh yang bertugas dijawatan agama keresidenan Aceh, akan tetapi karena situasi belum mengizinkan karena masih berlangsungnya perlawanan fisik melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia lagi, tambah pula ada antara anggota tim itu meninggal dunia, maka tim tersebut tidak dapat menyelesaikan tugasnya. Namun dalam rapat-rapat telah terdapat titik terang, asal saja dalam pelaksanaannya dapat dihindari hal-hal yang negatif.
Laweut
Perkataan laweut berasal dari perkataan “seulaweut” (seulaweut dalam bahasa Indonesia) ini juga merupakan antara seni tari, seni suara dan seni sastra. Tari ini lebih mirip dengan tari seudati, hanya pelakunya terdiri dari gadis-gadis, oleh karena itu juga dinamakan dengan nama “seudati inong” (Seudati Perempuan) tarin seudati ini berasal dari Aceh Pidie.
Unsur Islam dalam seni rupa.
Seni rupa juga berkembang di Aceh, akan tetapi perkembangannya sekarang tidak menonjol sebagaimana keadaan pada masa lampau, seni rupa yang berkembang di Aceh adalah seni arsitektur, seni ukir, dan seni dalam membuat sulaman, anyaman, keramik, kopiah meukutop dan rencong, seni pahat dan seni lukis tidak berkembang pada masa lampau, dari keduanya hanya seni lukis yang mulai berkembang sekarang, sebab tidak berkembangnya seni pahat dan seni lukis pada masa lampau di Aceh juga karena ajaran Islam.
Setelah datangnya agama Islam maka pengaruh hindu yang ada di Aceh dihilangkan, maka dilarang membuat patung atau gambar mahluk yang bernyawa, baik manusia maupun hewan, larangan tersebut berdasarkan hadist ya itu: “ siapa yang melukis atau menggambar sebuah gambar, maka dia akan disiksa tuhan sampai dia bisa memberinya bernyawa, tapi selamanya tidak mungkin memberikan lukisan atau patung itu bernyawa” (Saleh Kasim, 1986).
Seni arsitektur
Tercermin dari rumoh Aceh yang sekarang masih ada sisa-sisanya, bentuk dari rumah tradisional Aceh ini memanjang dari arah timur ke barat yang maksudnya dibuat demikian adalah untuk memudahkan menentukan arah kiblat. Dibagian sebelah barat maupun sebelah timur sejajar dengan kuda-kuda dan letaknya agak keluar, terdapat tolak angin (tulak angen) yang sepenuhnya berisi ukiran-ukiran yang merupakan kaligrafi yang berasal dari ayat-ayat al-Quran.
Demikian pula pada pintu rumah yang disebut juga Pinto Aceh serta pada kisi-kisi dan bingkai jendela terdapat juga ukiran-ukiran yang bermotif alam (misalnya bunga) dan kaligrafi huruf Arab. Selain daripada itu, dalam mendirikan rumah Aceh tradisional didirikan upacara yang bersifat religius, seperti halnya mengadakan peusijuek, yang hal itu sebenarnya merupakan sisa-sisa kebudayaan sebelum Islam datang, yaitu animisme dan dinamisme yang berbau magis, namun dalam upacara itu telah dimasukkan ajaran Islam, misalnya membacakan doa secara Islam bila acara mendirikan rumah itu selesai, disamping hal-hal tersebut diatas masih dapat juga ditelusuri unsur-unsur Islam yang terdapat dalam arsitektur Rumoh Aceh ( Rumah Aceh), misalnya dari struktur ruangan-ruangan yang terdapat dalam rumah itu yang ada kaitan dengan peranan-peranan daripada penghuninya. Jadi unsur Islam dalam seni arsitektur Aceh sangat jelas.
Anyaman
Anyaman berkembang di Aceh sampai dengan sekarang, akan tetapi yang masih maju di daerah-daerah pedalaman, akan tetapi didaerah perkotan anyaman tersebut sudah minim, anyaman tersebut dibuat dari daun lontar dan pandan dalam bahasa Aceh dinamakan sikee, anyaman yang biasa dibuat adalah tikar, diantaranya adalah tikar sembahyang dan tikar orang mati, tikar sembahyang khusus dibuat untuk maksud itu (tikar sajadah) dan disamping itu bentuk juga memperlihatkan unsur Islam.
Bagian depan menyerupai kubah mesjid, dan bagian pinggirnya menyerupai gigi buaya sebanyak lima buah yang melambangkan bahwa seorang yang sedang bersembahyang tidak boleh melakukan kegiatan lain ( misalnya berbicara) akan tetapi harus kusyuk seakan-akan orang itu (hatinya) berbicara dengan tuhan.
Rencong
Timbul Rencong di Aceh juga karena pengaruh Islam. Banyak simbol-simbol pada rencong yang memperlihatkan unsur Islam didalamnya. Didalam buku RENCONG karangan T. Syamsyuddin dan M. Nur Abas ( 1981:5) dijelaskan arti dari simbol pada rencong sebagai berikut:
- Gagang Rencong yang melekuk kemudian melebar pada bagian sikunya berupakan aksara arab BA
- Bujuran gagang tempat genggaman merupakan aksara SIN
- Bentuk-bentuk lancip yang menurun kebawah pada pangkal besi pada gagangnya merupakan aksara MIM
- Lajur-lajur besi pada pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan aksara LAM
- Ujung-ujung yang runcing dengan datar sebelah atas dan bagian bawah sedikit melekuk ke atas merupakan aksara HA.
Rangkaian dari dari aksara BA, MIM, LAM, dan HA itu mewujudkan kata, dengan demikian jelas bahwa rencong merupakan perwujudan dari ayat al-quran yang dalam bentuk alat yang tajam dijadikan sebagai alat perang guna mempertahankan agama Islam dari rong-rongan orang yang anti Islam.
Unsur Islam juga dapat ditelusuri dari cara membuatnya . untuk membuat sebuah rencong adakalanya dilakukan dengan cara ilmu ghaib yaitu dengan mengurutkan besi atau logam bahan rencong dengan  jari tangan dengan membaca mantra-mantra dari ayat al-quran sehingga ia benar-benar ampuh sebagai senjata.
Inilah sekilas tentang seni dan budaya Aceh yang penuh dengan nilai-nilai religius dan heroik, selama ini banyak daripada generasi Aceh yang tidak mengenal akan budaya nenek moyang mereka, mereka lebih mengenal akan budaya-budaya asing (budaya barat) yang sama sekali tidak cocok dengan kultur kita masyarakat Aceh  ini merupaka sebuah dilema bagi kelestarian budaya yang sangat kita cintai ini, padahal seharusnya kita harus bangga dengan budaya kita itu yang berbeda dengan budaya-budaya lain yang ada di dunia ini.
Semua pihak harus bangkit dan bersatu menyelamatkan budaya kita, semua kita harus mempunyai rasa memiliki dan rasa mencintai terhadapa budaya yang kita miliki, setiap bangsa yang lupa akan budayanya maka bangsa tersebut akan kehilangan jati diri. Mari kita bangkitkan kembali rasa cinta terhadap budaya kita kepada segenap generasi kita sejak dini sebelum semuanya terlambat.
Oleh Eka JanuaKetua Komunitas Budaya Negeri Kota Lhokseumawe.

firsafat keseniaan atjeh

Filsafat Kesenian Aceh

oleh Putroe Phang Unsyiah pada 24 Juli 2010 jam 18:33
Salah satu tradisi turun temurun yang dilakukan oleh Rakyat Aceh adalah melakukan aktifitas lewat kesenian. Seni yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang atau sekelompok orang untuk memnampilkan suatu hasil karya dihadapan orang lain. Dalam konteks masyarakat Aceh dahulu, seseorang yang mempunyai nilai seni, maka ia akan menjadi sosok yang akan menjadi perhatian. Dalam literature keacehan, dikenal beberapa jenis kesenian Aceh diantaranya Zikee, seudati, rukoen, rapai geleng, rapai daboeh, biola (mop-mop), saman, laweut dan sebagainya. Sepintas lalu, kegiatan seni yang dilakukan tersebut bertujuan untuk menghibur diri atau kelompok tertentu. Hal ini dilakukan seperti dalam kegiatan resmi di istana raja, atau dalam dalam perayaan acara tertentu.
Mengutip pendapat kesuma yang dikutip Ismuha dalam buku Bunga Rampai Budaya Nusantara, maka Kesenian Aceh secara umum terbagi dalam seni tari, seni sastra dan cerita rakyat. Adapun ciri-ciri tari tradisional Aceh antara lain ; bernafaskan islam, ditarikan oleh banyak orang, pengulangan gerak serupa yang relatif banyak, memakan waktu penyajian yang relatif panjang, kombinasi dari tari musik dan sastra, pola lantai yang terbatas, pada masa awal pertumbuhannya disajikan dalam kegiatan khusus berupa upacara-upacara dan gerak tubuh terbatas (dapat diberi variasi)
Kesenian Aceh dibalut dengan nilai-nilai agama, sosial dan politik. Kenyataan ini dapat dilihat dalam seni tari, seni sastra, seni teater dan seni suara. Selain itu seni tari atau seni tradisional Aceh dipengarungi oleh Sosial budaya Aceh itu sendiri. Seni Aceh dipengaruhi oleh latar belakng adat agama, dan latar belakang cerita rakyat (mitos legenda). Seni tari yang berlatarbelakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapa’I uroh maupun rapa’I geleng, Rampou Aceh dan seudati. Sementara seni yang berlatar belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari phom bines dan ale tunjang.

Kekuatan Gerak
Dalam konteks yang lain, seni Aceh juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bagian dari dimensi-dimensi agama. Ini dimungkinkan karena pesan-pesan dakwah juga dapat disampaikan lewat seni. Dalam penelusuran lebih lanjut kita dapati bahwa ternyata banyak hal-hal yang menarik kita jumpai dalam kesenian Aceh. Pertama kesenian Aceh dilakonkan oleh banyak orang. Kecuali menyanyi yang dilakukan sendiri (solo), rata-rata kesenian Aceh dilakukan oleh banyak orang (group). Jika kita tilik lebih dalam, konteks ini memberikan makna bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang menjunjung tinggi bentuk kerjasama tim. Tarian seudati, saman, laweut, rapai geleng, likok pulo dan lain-lain adalah bentuk-bentuk kesenian Aceh yang dilakukan secara berkelompok.
Dalam konteks seni, ini membutuhkan kerjasama tim baik dalam gerak, sikap, syair dan aspek-aspek seni lainnya. Bisa kita bayangkan seandainya salah seorang atau beberapa orang yang terlibat dalam kegiatan seni melakukan kesalahan, maka nilai seni yang akan ditonjolkan akan berkurang maknanya. Dalam konteks ini, kesalahan seseorang pelaku seni adalah kesalahan kelompok dimaksud. Jika hal ini terjadi, maka seni menjadi sesuatu yang tidak menarik lagi baik untuk pelaku seni atau penggemar seni itu sendiri.
Jika makna ini kita masukkan dalam konteks filsafat, makan makna yang dapat kita ambil adalah bahwa masyarakat Aceh sejak dulu adalah masyarakat bersatu. Leluhur Bangsa Aceh sejak dahulu adalah kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. Dalam pergaulan dan tata kemasyarakatan akan terlihat sikap dan nilai-nilai persatuan. Kesatuan gerakan dan suara yang terlihat dalam penampilan seni Aceh memberikan makna bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi niali-nilai ukhuwah dan persaudaraan.
Kedua, dalam seni kelompok seni Aceh selalu dipimpin oleh seorang syekh. Dalam literature seni, Syekh adalah orang yang memimpin atau yang mengarahkan gerakan-gerakan atau syair-syair . Dalam seudati, laweut, rapai, rukoen, likok pilo, maka syehk dikenal sebagai orang yang mengarahkan gerakan tarian dan lirik. Dalam hal ini, maka kepiawaian seorang syekh akan sangat menentukan kesuksesan tim seni secara keseluruhan. Amatan penulis, semua anggota tim seni selalu tunduk dan mengikuti gerakan dan syair yang dipimpin syekh. Tidak pernah kita dapati, ada anggota tim seni yang bergerak atau mengucapkan syair yang berbeda dengan yang dilakukan oleh syekh. Jika hal ini terjadi, maka seni menjadi sesuatu yang tidak selaras dan seirama. Dan hal ini sungguh sangat mengganggu kekompakan dan penampilan seni itu sendiri.
Dalam konteks sosial, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh adalah tipikal masyarakat yang taat kepada pemimpin. Semua yang dilakukan atau yang diucapkan oleh seorang pemimpin kepada masyarakatnya, maka akan diikuti oleh rakyat atau komunitas yang dipimpinya. Ini memberikan makna bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang taat kepada pemimpin. Dalam literature sejarah Aceh dahulu, yang diangkat menjadi pemimpin adalah ulama atau umara. Maka masyarakat Aceh adalah masyarakat yang taat kepada ulama/umara . Semua yang diperintahkan atau dicontohkan oleh kedua elemen itu, akan diikuti oleh masyarakat Aceh. Ini memberi makna bahwa masyarakat Aceh adalah masyarakat yang menjunjung dan menghormati ulama atau umara yang menjadi pemimpin mereka.
Ketiga, kebanyakan gerakan dalam kesenian Aceh adalah gerakan heroik. Dalam beberapa kesenian Aceh kita dapati bahwa gerakan yang dilakukan dimulai dengan gerakan yang lembut dan lambat. Gerakan ini sedikit demi sedikit akan terus dipercepat disesuaikan dengan waktu yang ada hingga akhirnya cepat dan akan berhenti. Jika diamati dalam setiap gerakannya, maka kesenian Aceh sarat dengan makna-makna yang heroik. Sikap kepahlawanan ini muncul seiring dengan timbulnya semangat perjuangan rakyat Aceh dulu disaat berperang melawan penjajah (baca : kaphe).
Dalam konteks keacehan, semangat jihat tersebut dimiliki oleh semua rakyat Aceh. Artinya, keinginanan masyarakat Aceh dalam medan peperangan guna mengusir penjajah ditabalkan dalam gerakan dan semangat seninya. Gerakan yang cepat tersebut dipadu dengan lirik-lirik syair yang akan menambah semangat jihat para penarinya. Semangat penari ini dimaknakan laksana panglima perang yang gagah berani dan siap terjun ke medan peperangan. Munculnya hikayat perang sabi dalam literature seni rakyat Aceh menunjukkan bahwa sejak dahulu semangat peperangan sudah ada dalam jiwa dan raga rakyat Aceh untuk mempertahankan tanah leluhurnya dari penjajah kaphe Belanda.
Dalam tinjauan filsafat, maka orang Aceh adalah mereka yang memiliki darah pejuang. Semangat juang ini dapat kita maknai dari tingginya hasrat dan keinginan rakyat Aceh untuk mempertahankan apa yang dimilikinya dari rongrongan dan penindasan orang lain. Siapa saja yang berkeinginan untuk merampas harta benda termasuk harkat dan martabat orang Aceh akan dilawan dengan segenap kekuatan yang dimiliki. Tetesan darah bahkan pengorbanan nyawa sekalipun tidak akan menyurutkan semangat orang Aceh. Dan ini telah terbukti lewat perjalanan literature sejarah.
Keempat, seni Aceh adalah sarana hiburan untuk menghibur diri.Sejarah Aceh mencatat bahwa sejak zaman dahulu kesenian Aceh dipergunakan untuk menghibur diri dalam segala situasi. Dalam literature kerajaan Aceh, sering dilaksanakan acara-acara di lingkungan istana raja dengan menampilkan berbagai atraksi kesenian baik yang dilakukan secara perseorangan atau kelompok. Kegiatan serupa tidak hanya berlaku dalam lingkup istana, akan tetapi juga dilaksanakan dalam berbagai strata lingkungan masyarakat.
Sebagai sarana hiburan, maka kesenian Aceh dapat dimaknai dalam dua dimensi. Pertama, menjadi hiburan bagi pelaku seni itu sendiri. Ini dimaknai dengan begitu riang gembiranya para penari dalam mengekpresikan gerakan seninya. Seorang pelaku seni selalu menampakkan suasana hati sesuai dengan atraksi seni yang dilakonkannya. Kedua, kesenian Aceh juga menjadi sarana hiburan bagi orang lain. Ini dimaknai dengan kegiatan perayaan seni yang sering dilaksanakan untuk khalayak. Dalam konteks tertentu, orang akan mengeluarkan biaya untuk dapat menikmati nilai-nilai seni yang digemarinya. Ini membuktikan betapa tingginya animo masyarakat Aceh untuk menikmati nilai-nilai seni yang diwarisi leluhurnya. Kelima seni adalah prestise. Sejak dahulu, orang yang mampu melakukan atraksi seni memiliki nilai kelebihan tersendiri. Bahkan sejarah mencatat bahwa perayaan seni dikalangan istana raja tempo dulu sering diperlombakan. Mereka yang mampu menampilkan kreatifitas seni terbaik akan diberikan penghargaan dan tentu saja hadiah. Mereka yang menjadi pemenang diundang ke istana raja untuk mempertunjukkan atraksi seninya pada saat-saat tertentu. Hingga saat ini, hal ini masih saja berlaku. Dalam masyarakat Aceh kini, munculnya pengakuan tak tertulis dari khalayak terhadap pelaku seni menunjukkan tingginya minat rakyat Aceh terhadap penghargaan kepada tokoh-tokoh seni.
Sebagai ilustrasi sederhana, adalah tenarnya nama-nama tokoh-tokoh pegiat seni di Aceh. Nama-nama seperti Tgk Adnan PMTOH, Syeh Rih Krueng Raya, Syeh Lah Geunta, Mareuhoi, Cek Bi terasa begitu dekat dengan penikmat seni di Aceh. Wajar saja karena mereka adalah para maestroe seni yang telah memajukan dan mempromosikan nilai-nilai kesenian Aceh mulai dari event daerah, nasional maupun internasional.
Dalam konteks kekinian, kegiatan ini malah lebih ditingkatkan lagi. Munculnya kegiatan-kegiatan festival seni dalam berbagai event menunjukkan tingginya nilai-nilai kompetetitif yang harus diupayakan oleh pelaku seni itu sendiri. Sebab jika tidak mampu bersaing, maka seseorang atau sekelompok pelaku seni akan jauh dari khalayak yang mengagumi kesenian itu sendiri.
Dari sudut filsafat budaya, kompetitif adalah persaingan, dan prestise adalah gengsi. Diakui atau tidak, dua aspek ini merupakan budaya orang Aceh. Masyarakat Aceh adalah komunitas yang siap bersaing dengan siapa saja untuk menjadi orang atau kelompok terbaik. Untuk sampai ke taraf ini, orang akan melakukan apa saja, termasuk persaingan tidak sehat. Makanya dalam literature Aceh sering dijumpai tindakan upaya-upaya tidak sehat dalam memperebutkan sesuatu serta tingginya sifat prestise yang dimiliki ketika sesuatu yang diinginkan telah dimilikinya.

Assalamualaikum...Wr. wb

boat Seniman2 putroe phang...
kita sekarang sudah ada blog....
jadi di manfaatin ya blog a.............
wassalam..................